June 20, 2025

Piagam Jakarta ialah perancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Perancangan ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan Tubuh Penyidikan Usaha-Usaha Penyiapan Kemerdekaan (BPUPK)[a] di Jakarta di tanggal 22 Juni 1945.

Piagam ini memiliki kandungan lima sila sebagai sisi dari ideologi Pancasila, tapi pada sila pertama tertera frasa “dengan kewajiban jalankan syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya”. Frasa ini, yang dikenal juga panggilan “tujuh kata”, pada akhirannya dihapus dari Pembukaan UUD 1945 di tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Penyiapan Kemerdekaan Indonesia, yakni tubuh yang diberikan tugas untuk menetapkan UUD 1945. Tujuh kata ini ditiadakan atas prakarsa Mohammad Hatta yang saat malam awalnya terima berita dari perwira angkatan laut Jepang jika barisan nasionalis dari Indonesia Timur cenderung lebih memilih membangun negara sendiri bila tujuh kata itu tidak dihapus. Di tahun 1950-an, saat UUD 1945 dibatalkan, beberapa perwakilan partai-partai Islam menuntut supaya Indonesia kembali lagi ke Piagam Jakarta. Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno umumkan dalam Dekret Presiden (yang mengatakan lagi ke UUD 1945) jika Piagam Jakarta “menghayati” UUD 1945 dan “adalah sesuatu serangkaian kesatuan dengan konstitusi itu”. Arti dari kalimat ini terus memantik pro-kontra setelah dekret itu dikeluarkan. Barisan berkebangsaan merasa jika kalimat ini sekedar mengaku Piagam Jakarta sebagai sesuatu document bersejarah, sedangkan barisan Islam yakini jika dekret itu memberi kemampuan hukum ke “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, dan atas dasar ini mereka menuntut pengundangan hukum Islam khusus untuk Muslim.

Piagam Jakarta memacu lagi pembicaraan sepanjang proses amendemen undang-undang dasar pada periode Reformasi (1999-2002). Partai-partai Islam mengajukan usul supaya “tujuh kata” dipertambah ke Pasal 29 UUD 1945, yakni pasal yang atur masalah posisi agama dalam negara dan kebebasan berbagai ragama. Tetapi, saran amendemen dari partai-partai Islam tidak memperoleh support dari sebagian besar di Majelis Pembicaraan Masyarakat (MPR).

Piagam Jakarta sepanjang pendefinisian UUD 1945

Sidang Sah Pertama BPUPK dan Panitia Sembilan
Di tahun 1942, Kekaisaran Jepang menempati Hindia Belanda. Sejak awalnya wargaan, pemerintah militer Jepang telah bekerja sama dengan beberapa pimpinan barisan berkebangsaan bermaksud untuk penuhi kepentingan perang dan wargaan.[1] Supaya kerja sama dengan barisan berkebangsaan di Jawa bisa dioptimalkan, Jepang membuat organisasi Jawa Hokokai di awal Januari 1944,[2] dan organisasi ini adalah alternatif Pusat Tenaga Masyarakat yang sudah disetop.[3] Saat Jepang mulai alami kekalahan dalam Perang Pasifik, Pertama Menteri Jepang Kuniaki Koiso janji akan memberi kemerdekaan ke semua bangsa Indonesia di suatu hari.[4]

Pada 1 Maret 1945, Angkatan Darat ke-16, korps militer Jepang yang melakukan pemerintah atas daerah Jawa, membuat Tubuh Penyidikan Usaha-Usaha Penyiapan Kemerdekaan (BPUPK, bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Chōsa-kai).[5][6] Tubuh ini bekerja memutuskan dasar negara Indonesia dan merangkum undang-undang dasarnya.[7] BPUPK terbagi dalam 62 anggota, 47 salah satunya asal dari kelompok berkebangsaan dan 15 dari kelompok Islam.[8] Beberapa wakil barisan Islam yakini jika undang-undang dasar Indonesia sepantasnya didasarkan pada syariat.[9] BPUPK melangsungkan sidang sah pertama kalinya di Jakarta dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945.[10] Pada sidang ini, Soekarno sampaikan pidatonya yang populer, “Lahirnya Pancasila”, di tanggal 1 Juni 1945. Pidato ini jadikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia,[11] dengan “ketuhanan” sebagai sila kelimanya.[12] Berkaitan sila ini, Soekarno menerangkan:

Konsep yang ke-5 sebaiknya: Menata Indonesia Merdeka dengan bertakwa ke Tuhan yang Maha Esa. Konsep Ketuhanan! Tidak saja bangsa Indonesia bertuhan, tapi setiap orang Indonesia sebaiknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut panduan Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut panduan Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha jalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang terdapat kepadanya. Tapi mari kita semua ber-Tuhan. Sebaiknya negara Indonesia adalah negara yang setiap orangnya bisa menyembah Tuhannya dengan yang bebas.[13]

Saat sebelum masuk saat reses, BPUPK membuat sebuah Panitia Kecil yang terbagi dalam delapan anggota dengan Soekarno sebagai ketuanya. Panitia ini bekerja kumpulkan saran-usulan dari anggota-anggota BPUPK yang lain untuk diulas nantinya.[14] Untuk kurangi kemelut di antara barisan berkebangsaan dengan Islam, Soekarno membuat Panitia Sembilan di tanggal 18 Juni 1945. Panitia yang dipimpin oleh Soekarno ini bekerja merangkum mukadimah undang-undang dasar Indonesia yang bisa diterima oleh kedua pihak.[15] Sama sesuai namanya, panitia ini terdiri sembilan anggota, dengan 4 anggota asal dari barisan Islam dan lima dari barisan berkebangsaan. [16] Ke-9 anggota itu ialah:[17]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *